harigelita
“Alkisah, puteri badung yang jatuh hati pada pelayan istana. Seisi istana mengenal sang puteri sebagai gadis baik-baik, kecuali si pelayan.”
harigelita
Aku yang bersandar pada bahunya memasang telinga. Biasanya kalau ceritanya dimulai dengan kata ‘Alkisah’ aku akan dibuatnya terbahak-bahak.
harigelita
Wajahnya datar saja memandang ke luar jendela kereta. Tak ada pemandangan di sana! Lha wong kita di dalam subway!
harigelita
“Suatu sore menjelang magrib, sang puteri berpura-pura hendak mandi. Menginjak usia 11 tahun. Mandinya tak lagi ditunggui dayang-dayangnya.”
harigelita
“Sudah 6 tahun sang puteri tidak pernah mandi sore. Ia akan memanjat jendela kamar mandi lalu duduk di pinggiran tembok, menikmati sunset.”
harigelita
Aku tergelak. “Puterinya kok mirip kamu sih, dear?” “Lho, aku memang tuan puteri. Mau dilanjut ga ceritanya?” kepalaku kehilangan sandaran.
harigelita
“Mauuu..” rajukku sok manja. “Ngga usah banyak komentar. Nyender bayar!” galaknya yang dibikin-bikin ini bikin pengen nyium. Takut benjol.
harigelita
“Rupanya ada seorang pelayan yang tak sengaja mengetahui kelakuan sang puteri. Ia pun sering menghindari pekerjaan di sore hari.”
harigelita
“Pelayan itu sedang duduk di tembok istana dekat jendela dapur. Di hadapan keduanya tampak negeri yang permai. Gradasi jingga hingga hijau.”
harigelita
“Di hadapan keduanya? Oh, sang puteri juga? Tapi puterinya pakai baju kan, dear?” nekad aku menyeletuk. “Tadi kan ceritanya mau mandi?”
harigelita
“Strike 1! 2 lagi, ngga aku lanjutin lho ceritanya.” ia mendelik. Mulai marah betulan. “Hihihi.. Ampun Nyah..” aku pura-pura mengunci mulut.
harigelita
“JADI, ceritanya sore itu kebetulan KEDUANYA SAMA-SAMA menikmati sunset TAPI dari sisi tembok istana YANG BERBEDA.” penekanannya dahsyat.
harigelita
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa. Gadisku ini jago sekali akting marahnya. Aku mengacung. Ingin bertanya. Dia cuek.
harigelita
“Si pelayan melihat kaki seseorang menjuntai dari menara sang puteri. Sepasang betis indah, mirip bulir padi yang telah menguning, berisi.”
harigelita
“‘Masakah itu sang puteri? Jam segini kan jadwalnya mandi? Lalu siapa lagi? Yang punya akses ke jendela itu bukankah hanya dirinya? Aha!'”
harigelita
“Pelayan itu tiba-tiba menumbuhkan sepasang tanduk iblis di kepalanya. Ia berniat mengganggu sang puteri dengan rahasianya ini.”
harigelita
“Ia terkekeh-kekeh saat memanjat jendela memasuki dapur. Matahari telah tenggelam. Tinggal semburat merah bak bara pada hamparan arang.”
harigelita
“Puteri yang masih belum puas menikmati indah senja, harus memaksa diri untuk masuk ke kamar mandi. Tugas pura-pura mandinya belum tuntas.”
harigelita
“Pertama, ia tanggalkan gaun siangnya dengan gaun makan malam yang telah disiapkan. Air mandi ia tuangkan serbuk susu agar terlihat keruh.”
harigelita
“Disisir rambutnya, lalu di kepang membentuk jalinan indah. Sedikit saja bedak pada wajah lalu dia cubit sendiri pipinya agar berona merah.”
harigelita
“Dipilihnya wangi Melati dari deretan parfum mewah yg tersedia, cinderamata negeri-negeri tetangga. Lalu disemprotlah tiap inchi tubuhnya.”
harigelita
Aku menguap, sekedar mengetes apakah dia masih mempedulikanku atau hanya ingin menyerocos sendiri, “Hoaaaa–“plok!” mulutku ditepuk. LOL.
harigelita
“Berapa stop lagi ya?” ia bertanya setelah kami puas tertawa. “Demachiyanagi barusan lewat. Kitayama bentar lagi. Terusin dong ceritanya.”
harigelita
“Baiklah. Sampai di mana tadi? Oh iya. Di ruang makan yang lebih mewah dari ruang makan Hogwarts, sang Puteri disambut oleh kecupan Raja.”
harigelita
“”Cantiknya anak Ayah. Semakin mirip mendiang Bundanya.” dengan lantang sang Raja berkata yang didengar semua pelayan di ruang makan.”
harigelita
“Tanpa dikomando mereka berdecak kagum. Sang puteri tersipu-sipu. Di pintu dapur, seorang pelayan mencibir melihat kelakuannya.”
harigelita
“Ah, ayah. Leia kan sudah besar.” ia berhenti, melirikku lalu berkata, “Just in case you were wondering, ayahnya bukan Darth Vader, ok?”
harigelita
Aku mengangguk-angguk mantap. “Good boy.” pujinya seolah pada anjing yang pintar. “Sial.” rutukku sambil terkekeh-kekeh.
harigelita
“Pak, biar saya sajikan telur mata sapinya.” pintanya pada kepala koki. Dengan penuh kerendahan hati ia berjalan mendekati sang Puteri.”
harigelita
“Silahkan Tuan Puteri, kuning telur ini sengaja dipilihkan yang paling mirip dengan matahari terbenam kesukaan Tuan Puteri.” bisiknya pelan.
harigelita
“Garpu selada yang dipegangnya jatuh berdenting. Memecah hening. Ia menatap punggung pelayan yg bergegas. “Ada apa, Anakku?” tanya Raja.”
harigelita
“”Tidak apa-apa Ayahanda. Aku hanya..hanya sedikit mengantuk.” ia berbohong. “Istirahatlah, Sayang.” ucap Raja dengan lembut ‘Yes!’ benaknya. ”
harigelita
“”Kalau begitu saya undur diri dari hidangan ini.” sambil berdiri dari kursi, ia sempat-sempatnya berpura-pura menguap. “Silakan, Ananda.”
harigelita
“‘Mana pelayan sialan itu. Bisa2nya tau. Harus diberi pelajaran.’ sang Puteri menyusuri lorong-lorong istana dgn gusar. Otaknya berputar.”
harigelita
“‘Di ujung lorong, lengannya digamit. Ia ditarik ke sudut gelap.” “KURANG A-” bibirnya dibungkam. “MMMPH!” amarahnya sampai ke ubun-ubun.”
harigelita
“Ampun Tuan Puteri Penikmatsenja, yang malas mandi.” bisiknya tegas di telinga puteri. “Rahasiamu akan aman bersamaku, dengan satu syarat.”
harigelita
“Ijinkan sahaya menikmati indah senja duduk ber2 denganmu. 1x saja.” dlm remang sudut istana, sang puteri sulit menangkap rupa si pelayan.
harigelita
“Pikir sang Puteri apa salahnya? Toh sekali saja. Dihempaskan tangan si pelayan, “Lancang sekali! Baik. Kuijinkan. Tapi aku punya syarat!””
harigelita
“Dear, sudah sampai. Turun yuk? Ceritanya dilanjut sambil jalan.” ajakku. Ia melongo. Rupanya masih in the zone. Kutuntun keluar pintu.
harigelita
“Lanjutin Dear ceritanya. Apa persyaratan sang Puteri?” pintaku lembut. Haru pada keseriusannya bercerita. “Terima kasih, Sayang.”
harigelita
“Sebutkan.” pelayan itu sok sekali. Sang puteri menahan amarahnya, “Kamu boleh duduk denganku senja besok, tapi tidak melalui jendelaku.”
harigelita
Sesuatu yang jelas mustahil sebab jendela yang dimaksud terletak di sebuah menara yang nyaris terpisah dari istana Utama.
harigelita
“Ninja bayaran paling lihai sekalipun tak bisa mencapai jendela itu. Karena memang menara itu dirancang untuk melindungi sang Puteri.”
harigelita
“”Baik. Sampai bertemu besok sore.” dilepaskan kuncian lengannya pada tubuh sang Puteri lalu berlari menghilang dalam gelap.
harigelita
“Malam itu sang Puteri tak dapat tidur. Ia gondok setengah mati. Rahasia yang dijaganya rapih bertahun-tahun. Satu-satunya hal yang benar2–
harigelita
–dimilikinya, yang bukan pemberian Ayah maupun statusnya kini harus ia bagi dengan orang lain. Seorang pelayan pula! Pelayan lancang!”
harigelita
“Paginya sang puteri berjalan di kebun mawar berusaha menenangkan pikirannya akan peristiwa sebentar sore. Dipetiknya sebuah mawar jingga.”
harigelita
“”Mawar jingga bukan persilangan mawar merah dan mawar kuning.” sebuah suara menepis kesendiriannya, suara semalam! Kali ini dengan wajah!”
harigelita
“Wajah yang, astaga, sungguh tampan! “Masa bodoh!” dengan segala sisa gengsinya sang puteri menghempaskan mawar yang tadi dipetiknya.”
harigelita
“Cantik-cantik kok kasar.” pelayan itu memungut mawar yang dibuang sang puteri. “Sesama mawar, tak boleh melempar.” teguran terselubung.
harigelita
“Wajah sang puteri merah padam. Ditamparnya si pelayan krn telah berkata tidak sopan. Ia lalu berlari meninggalkan pelayan yang kesakitan.”
harigelita
Sepanjang pagi smp siang adegan di kebun mawar terus berputar di kepalanya. Kebenaran ucapan si pelayan menyadarkannya akan silap sikapnya.
harigelita
“Sorenya sang puteri masuk kamar mandi lebih awal. Ia mandi! Begitu selesai ia memanjat jendela dan duduk menanti di pinggir tembok menara.”
harigelita
“Tak lama seisi istana bergegas ke halaman rumput istana. Mereka menunjuk-nunjuk dirinya sambil tertawa. Sang puteri panik, tidak menyangka.”
harigelita
“Pelayan itu berkhianat. Di saat ia hendak berubah. Saat ia rela mandi. air menggenangi mata. Mengganggu penglihatannya. Ia salah pijak.”
harigelita
“Puteri itu jatuh. Dalam jatuhnya ia lihat gradasi langit senja. Kuning. Jingga. Lalu Merah darah. Darahnya. Puteri badung itu tewas.”
harigelita
“Pelayan itu menyeruak di antara kerumunan. Baru ia hendak mengangkat tubuh patah sang puteri, Raja mencegah. “Enyah dari hadapanku!”
harigelita
“Pelayan itu tahu apa yang pantas dilakukannya. Setidaknya bagi dirinya sendiri. Ia panjat tembok dari jendela dapur, lalu berusaha mencapai
harigelita
jendela sang puteri. Sesuatu yang mustahil. Jarak lompatan dari tembok gedung utama sekitar 5 meter ke menara. Tanpa pijakan berarti.”
harigelita
“Si pelayan membiarkan dirinya jatuh. Langit sudah merah. Seperti bara. Bara sesal di hatinya. Hatinya yang tak lama juga berhenti.”
harigelita
“Kok tragis banget sih, Dear endingnya?” aku tidak terima, karena tak dibuatnya tertawa. “Kalau tidak tragis aku ga punya alasan.” sahutnya.
harigelita
Keningku berkerut, “Alasan?” Ia mengedikkan bahu, “Yah, alasan. Untuk mengatakan bahwa kisah tadi adalah legenda rekaan instanku untukmu.”
harigelita
“Hah?” “Sayang, itu asal muasal pohon Ichou & pohon Momiji kesayanganmu itu. Di tanah tempat ke2nya tewas, masing-masing tumbuh 1pohon.”
harigelita
“dengan Daun-daun yang berubah warna senada senja lalu gugur di hadapkan pada dingin salju. Dinginnya lelucon sang pelayan. The End.”
harigelita
“Dear, harusnya kita berciuman.” bisikku hati-hati. Ia tergelak. “Baiklah kuanggap itu bayaran yg pantas, tlh rela mendengar kisah bodohku.”
harigelita
“Sayang..” kuraih dagunya. Di stasiun Kitayama yang sepi kita berpagut, menikmati ciuman pertama dari ratusan bahkan ribuan ciuman lainnya.
harigelita
Tak kuasa menahan diri, kupeluk Puteri yg bertahta di hatiku. Di telinganya kubisikkan terima kasihku. Ia menjawabnya dgn, “Happy New Year.”