Kami tengkurap di lantai kayu. Sinar matahari pagi yang hangat menyapa lembut. Beralaskan selimut sewarna langit, kami ikhlaskan hari Minggu merambat lambat. Saling berhadapan, sepasang kepala laksana poros.
Tak ada kata, hanya mata yang saling menatap mengiringi jemari yang berusaha mengenali tiap lekuk wajah. Perlahan menyentuh tekstur empuk bibir, meraba sekeras apa rahang miliknya yang tegas.
Tiba-tiba ia berdiri, mengambil post-it dan pena dari dalam tasnya, untuk kembali tengkurap di hadapanku. Menumpu pada siku. Di wajahnya tersungging senyum misterius. Di wajahku tertulis tanya.
Ia menulis sesuatu, lalu disodorkannya ke bawah hidungku.
“Kamu curang.”
“Kok?” tulisku
“Bisa mendengar kicau burung.”
“Kamu lebih curang.”
“Kok?” tulisnya.
“Dicintai orang semanis aku.”
“Cicip dong.”
“Boleh.”