Hari-hari Tanpa Emak

Matahari telah tinggi ketika Rony sampai kembali di rumahnya. Ia langsung menghampiri Bapak yang sedang mengaduk-aduk panci besar berisi air berbumbu dan tulang sapi, membuat kaldu untuk dagangannya hari itu. Diserahkannya seluruh uang hasil menjadi ‘joki three in one’ sepagi tadi, Rp. 40,000,-. Tanpa berterima kasih Bapak mengantongi uang itu, lantas kembali mengaduk kaldu.

“Petikin toge gih, di belakang.” Bapak mengambil sekantong toge di dalam perut gerobak dan dilemparnya ke bale-bale dekat tempat Rony berdiri.
“Iya.” Rony menurut, memungut kantong tersebut lalu pergi.

Bagian belakang rumah semi permanen itu menghadap Kanal Banjir Timur. Rony duduk di atas tikar plastik motif kotak-kotak hitam dan putih yang sobek di beberapa titik. Bersandar pada tembok gedek. Suara radio mini Bapak mengalunkan musik dangdut yang kadang cengeng kadang genit. Tiap sebentar, muncullah suara penyiar menyampaikan salam-salam untuk para pendengarnya. Angin sesekali menerpa, menyejukkan tubuh kumalnya yang bau matahari.

Dibukanya plastik berisi tauge lalu dikeluarkan koran pembungkus di dalamnya untuk alas petikan akar tauge yang harus dibuang. Dengan tangkas Rony memetiki toge sekali dua, sekali tiga, tanpa menyia-nyiakan bagian tauge yang dapat dimakan. Tanpa pernah keliru membuang ampasnya ke dalam plastik tauge yang telah dipetiki. “Tangan kiri ampas, tangan kanan tauge.” dulu Emak pernah mengajari.

Sambil bekerja, pikiran Rony ke mana-mana. Entah kenapa pikirannya selalu kembali pada ibu muda itu. Yang sudah beberapa kali memakai jasanya sebagai joki. Mobil yang harum dan bersih. Ibu itu selalu memakai baju berwarna senada. Hari ini ia bernuansa biru, mulai dari sepatu hingga kerudung yang dikenakannya semuanya biru. Cara bicaranya di telpon terdengar santun, seperti berirama padahal tidak sedang bernyanyi. Supirnya sangat hormat dan mempedulikan ucapan Ibu muda itu. Terdengar lagu suara penyanyi bule perempuan, kadang-kadang ibu muda itu akan ikut berdendang. Suaranya pas-pasan tapi Rony sering merasa ibu itu sedang bernyanyi untuknya. Entah apa arti kata-kata bahasa asing itu, mungkin Rony takkan pernah tahu.

Rony membayangkan rumah yang ditinggali Ibu itu. Pasti bertingkat dan dikelilingi bunga-bunga aneka warna. Ada beberapa ekor kucing berbulu panjang bermalas-malasan di teras depan. Di ruang tamu terdapat foto pernikahannya yang terlihat sangat bahagia. Suaminya tersenyum sambil menatapnya mesra, ibu itu tersipu-sipu manja dengan wajahnya yang masih belia. Di sebelah foto itu terdapat foto yang tampak lebih baru, Ibu itu diapit dua anak laki-laki. Keduanya memonyongkan mulut mencium pipinya dengan jenaka. Kali ini ibu itu bukannya tersipu manja, ada tawa yang amat bahagia di sana.

Hati Rony pedih membayangkannya. Ia gelengkan kepalanya kuat-kuat. Berusaha menghilangkan bayangan-bayangan yang terlalu tinggi buat seorang anak piatu sepertinya. Ia buru-buru merampungkan tugasnya. Dibawanya ke depan dan langsung ditatanya bersisian dengan bihun dan mi telor di dalam rak bakso gerobak Bapak. Bapak sedang duduk di bale-bale dengan sebelah kaki terangkat, menunggu langganan berdatangan sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.

“Pak, Rony sarapan dulu ya?” ucap Rony hati-hati.
Bapak hanya mengangguk.
“Bapak sudah makan?” Rony menirukan ucapan almarhumah Emaknya yang dulu selalu menemani Bapak makan.
“Nanti saja.” jawab Bapak sambil terus memandang jauh ke depan.

Andai saja ia terbiasa, pasti Rony akan berkata,
“Rony sayang, Bapak.”

One thought on “Hari-hari Tanpa Emak

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s