Do what you love and love what you do

Kalau boleh jujur, aku ingin hari-hariku seperti hari-hari Papa:

Bangun tidur – sholat – mengaji – olah raga – sarapan – menulis – tidur – baca – nonton berita – sholat – makan – baca – nonton film tv (jika ada) – tidur – sholat – sholat – mengaji – makan – menulis – nonton tipi – sholat – tidur. (note: sequences may vary depending on mood)

Kalau boleh jujur, aku ingin berhenti dari pekerjaan ini dan menjadi penulis. Penulis yang pekerjaannya adalah membaca. Buatku itu pasti surga. Dear Semesta, mohon dicatat dalam agendamu ya!

Tubuhku takkan kekurangan olahraga sebab, jogging bisa dilakukan di kompleks rumah. Haruki Murakami adalah seorang pelari marathon malah. Bangun pagi selepas sholat Subuh dan mengaji tinggal pakai baju training dan sepatu lari. Telinga disumpal musik RnB atawa hip hop dan bergerak seiring musik yang menderap. Atau jika bosan jogging, kolam renang Tirtamas letaknya dekat sekali. 7 lap atau 10 sanggup kujabani. Kalaupun bosan dengan pemandangan dekat rumah, selalu ada sepeda yang setia digenjot kemana-mana. Dalam setahun aku bisa jadi atlit triathlon, mengalahkan Murakami-san.

Sesekali mengayuh sepeda ke Taman Suropati yang jika pagi dihujani cahaya matahari kaya vitamin D. Menertawakan mereka-mereka yang duduk cemas di atas bis kota terjebak macet yang tak berujung tak berpangkal. Sekusut kasus korupsi, serimbun kumis Foke. Setelah puas tertawa aku akan membuka buku yang punggungnya telah retak, di tempat terakhir pembatasnya terletak. Di bawah rindang daun disertai tupai yang sesekali melintas di atas, aku akan membaca buku mengerami ide-ide yang belum waktunya menetas.

Kemudian aku akan menggenjot sepeda kembali ke rumah. Sesampainya di sana, aku sudah cukup lelah lalu bergumam, “Tidur bentar ah!”

======= penulisnya lagi tidur, jangan diganggu! =======

Agar Disayang

Sabar
Sabar.
Sabar..
Sabar…
Sabar….
Sabar…..
Sabar……
Sabar…….
Sabar……..
Sabar………
Sabar……….
Sabar………..
Keep writing it over and over until it resembles a foreign word.
Until you don’t know why you began writing it down in the first place.

Singapore, January 2nd 2012

Playing Neruda

a humble attempt to mimic the master

♠ Flimsy dresses, soft carresses. You shift your weight and enter my gate. Wet with love from the skies above

♠ Honey dew, my sweet-scented muse. Rivers shiver, as everything else quivers

♠ Voyeurism at it’s naughtiest, is kissing the one you love, with eyes wide open

♠ The softest touch, is just too much

♠ The bloodshot eyes of those who cry, weary, teary, ever dreary

♠ As the moon dives into the sea. Phantoms search within the fathoms. For lust void of earthly dust

♠ I love you more than the sea. I love you more than you can see

♠ Alone. All one. Nothing but all. Everything but one

♠ Crossroads and crossword puzzles. On a gray Sunday afternoon, as the sky sighs and drizzles

Hei, Kamu!

Hai kamu,

Ya, kamu!

Masih ingat akan cita-citamu?
Kamu bilang pada semua hendak menjadi jurnalis medan perang yang memenangkan Pulitzer Prize.
Semoga kamera Nikon A500 berlensa tele warisan dari kakek ngga cuma jadi gantungan leher ya. Ngga sedikit uang yang gue keluarin buat ‘ngidupin’ lagi itu kamera. Loper koran sedari subuh, sampai nilai anjlok karena kebanyakan tidur di kelas. Untung ada Darla sang penyelamat dengan catatan rapinya yang boleh gue fotokopi kapan saja.

Oh yeah, bagaimana kabar Dinda? Berhasilkah kamu mengabadikan mata sayunya dalam bingkai dengan cetakan B&W? Atau jangan-jangan ada lusinan Dinda yang sempat mengendap di kamar gelap. Tapi itu mustahil, tampang kita pas-pasan plus jerawatan. Sudah adakah gadis yang sudi melihat ke balik itu semua? Atau yang sekedar melongok. Sudah ada?

Bagaimana kabar Mama? Masih suka sakit kepala? Mama masih ada kan?

==================================

Surat itu berhenti di situ. Aku berusaha mengingat-ingat kenapa surat itu tak kulanjutkan. Kenapa aku tidak menulis tentang Papa yang dulu musuh bebuyutan. Papa yang selalu membela kakak yang menurutku tak becus apa-apa dan hanya bikin Mama sakit kepala.

‘Kepada Aku 15 Tahun Mendatang’ Judul PR guru nyentrik yang sampai kini masih sering kukunjungi. Mengajar sastra malah pakai lirik lagu Dewa. Kasihan Dhani Ahmad habis dicela berkelas-kelas anak SMA. Ibu Evi yang memalingkan wajah kami pada pemilik sejati bait-bait melankoli si Dhani.

“Anak-anak yang budiman, sebagai cinderamata kelulusan kalian dari bangku SMA ini, Ibu minta kalian menuliskan Surat untuk diri kalian 15 tahun mendatang. Kelak, jika Tuhan merestui kita adakan reuni, dan masing-masing Surat akan ibu minta kalian bacakan lagi.”

Guru jenius. Beliau tahu betul manusia selalu berubah. Dan untuk membuktikannya, tak ada yang secerdik caranya. Membuat kami melahap daya pikir kami sendiri. Kami yang masih remaja mengira tak ada yang tak bisa.

Padahal nyatanya, aku tidak menjadi jurnalis perang. Ayahku terkena stroke tak lama setelah Ibu meninggal dunia. Mengharuskanku lebih banyak bekerja dari rumah untuk menunggui ayah.

Kakak beroleh beasiswa ke luar negeri dan tersangkut gadis Eropa yang membuatnya lebih memilih menjadi warga negara kelas dua.

Aku kini wartawan freelance. Bukan yang berisiko tinggi. Sesekali menulis cerpen dan comic strip, kadang ditanggap untuk memfoto juga melukis karikatur tokoh masyarakat.

Ingat Darla? Yang catatannya selalu jadi penyelamat? Dia sudah menikah dan punya 4 anak. Benji, Eugene, Sophie dan Laila. Aku kenal betul dengan anak-anaknya, juga suami Darla. Setiap pagi aku bertemu dengannya, di dalam cermin.